Salah satu ciri khas sebuah
kota ditandai dengan bentuk bangunan maupun monumen yang dimilikinya.
Sehingga mendiang Presiden Soekarno secara khusus membangun Monumen
Nasional di Jakarta dan Tugu Pahlawan Surabaya. Meskipun terkesan
pembangunan itu sebagai proyek mercusuar atau menara gading belaka,
namun keberadaan kedua monumen itu semakin menguatkan identitas
kota-kota tersebut. Lalu bagaimana dengan Jombang sebagai salah satu
kota kelahiran multi tokoh maupun bertemunya dua aliran
kebudayaan;Mataraman (Pracima) dan Arek (Purwa)?
Ternyata Jombang juga memiliki
kebanggaan ikon tetenger atau ciri khas kotanya, yaitu Ringin Conthong.
Kebanggaan ini menjadi pemicu dan pemacu elemen masyarakat Jombang, baik
yang berada di tingkatan lokal maupun warga Jombang yang sudah
berdomisili di kota lain. Seperti misalnya komunitas teater Ringin
Conthong STKIP PGRI Jombang yang mengembari ludruk mahasiswa ITS Tjap
Toegoe Pahlawan. Sedangkan komunitas warga Jombang di Jakarta dan
sekitarnya sengaja memasang bentuk menara air Ringin Conthong dalam logo
organisasi yang bertajuk Pagerijo, singkatan dari Paguyuban Arek
Jombang.
Mengapa Ringin Conthong dipandang
sebagian warga masyarakat Jombang begitu penting sebagai ikon kota
berjuluk kota santri ini? Ada baiknya kita telusur arti penting Ringin
Conthong dari berbagai sudut pandang.
Pertama dari kajian etnografi atau yang
bersumber dari cerita rakyat sebagai kekayaan folklor/ tradisi kolektif
masyarakat Jombang, yaitu cerita Kebokicak Karang Kejambon. Alkisah
ketika terjadi pengejaran Kebokicak terhadap Surantanu dan Banteng
Tracak Kencana yang akan digunakan sebagai tumbal terkait munculnya
pageblug/ wabah penyakit yang sulit disembuhkan di daerah padepokan
Pancuran Cukir, Kebokicak berteduh di bawah pohon raksasa. Setelah
melihat langsung pohon raksasa itu akhirnya tempat persinggahan tersebut
dinamakan Ringin Conthong.
Kedua ditanamnya pohon beringin oleh
bupati Jombang pertama Raden Adipati Arya Soeroadiningrat V atau lebih
akrab disebut Kanjeng Sepuh pada tanggal 22 Pebruari 1910, bertepatan
dengan peletakan batu pertama pembangunan pendapa kabupaten Jombang.
Pada tanggal tersebut Kanjeng Sepuh sekaligus menanam dua pohon beringin
sebagai simbol pengayoman. Satu pohon beringin kunthing ditanam di
depan pendapa, sedangkan satunya ditanam tepat di lokasi Ringin Conthong
sekarang.
Ketiga ditetapkannya Ringin Conthong
sebagai titik nol jarak antar wilayah di kabupaten Jombang maupun antar
kota dengan pusat kota santri ini. Keputusan ini barangkali sejalan
dengan penetapan batas-batas kota Jombang oleh pemerintah Hindia Belanda
yang pada saat itu berkedudukan sebagai ibukota Afdeeling Jombang yang
terletak di Karesidenan Surabaya. Penetapan ini tepatnya terjadi pada 20
September 1877 yang dimuat dalam lembaran negara no. 172 (Staatblad van
Nederlandsch-Indie Besluit van den Gouverneur-Generaal van
Nederlandsch-Indie van 20 September 1887 no.2/c).
Keempat dibangunnya menara air pada
tahun 1929 oleh pemerintah Hindia Belanda. Meskipun bangunan ini bukan
ringin conthong yang dimaksud, tetapi sebagian besar warga Jombang
menganggab menara air tersebut bagian tak terpisahkan dari situs Ringin
Conthong.
Posisi Ringin Conthong di Titik Nol
memang memiliki arti yang sangat berharga sebagai epicentrum kota
Jombang. Karena nol identik dengan kosong, sedangkan dalam kekosongan
ada kesadaran akan Yang Maha Satu. Artinya di titik nol itulah
sebenarnya sumber kekuatan sebagaimana roda berjeruji yang titik
tumpunya pada titik sumbu/ as yang berada di tengah roda. Ringin
Conthong kita analogikan sebagai sumbu sebuah roda wilayah bernama
Kabupaten Jombang.
Sebagai bahan pembanding adalah Tugu
Khatulistiwa di kota Pontianak yang merupakan penanda garis equator di
permukaan bumi, tempat dimana matahari berada pada satu garis lurus di
atas bumi, sehingga tidak ada bayangan yang muncul akibat sinar matahari
yang menerpa benda-benda. Tugu Khatulistiwa sama-sama berada pada titik
nol, cuma yang membedakan adalah kedudukan dan fungsi masing-masing.
Ringin Conthong dalam skala mikro sebagai titik awal yang menghubungkan
jarak antar wilayah. Sedangkan Tugu Khatulistiwa adalah titik nol sebuah
makrokosmos bernama bumi yang kita pijak.
Terlepas dari interpretasi masing-masing
orang maupun elemen masyarakat di kabupaten Jombang terkait arti
penting sebuah lokasi dan cagar budaya bernama Ringin Conthong, alangkah
indahnya jika warga masyarakat khususnya di kota santri ini turut
uri-uri atau melestarikan ikon kota Jombang. Sehingga Jombang pantas
disandingkan dengan kota-kota dengan identitas khas yang dimiliki.
Biarlah Jakarta punya Monas, Surabaya memiliki Tugu Pahlawan, Pontianak
tempat Tugu Khatulistiwa, dan Jombang bangga dengan Ringin Conthongnya.
Penulis : Dian Sukarno, adalah penggiat budaya dan pimpinan sanggar tari Lung Ayu, Sengon, Jombang.
0 komentar: